Ustadz Abdullah Taslim. MA
Semua manusia sepakat, meskipun secara tidak tertulis,
bahwa target mereka dalam setiap usaha yang mereka lakukan adalah meraih
kesuksesan, mendapat untung dan terhindar dari kerugiaan.
Ironisnya, kebanyakan manusia hanya menerapkan hal ini
dalam usaha dan urusan yang bersifat duniawi belaka, sedangkan untuk urusan
akhirat mereka hanya merasa cukup dengan ‘hasil’ yang pas-pasan dan seadanya.
Ini merupakan refleksi dari kuatnya dominasi hawa nafsu dan kecintaan terhadapa
dunia dalam diri mereka.
Allah Ta’ala mengisyaratkan keadaan mayoritas
manusia ini dalam firman-Nya,
يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ
عَنِ الآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (nampak) dari
kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.”
(QS. ar-Ruum: 7).
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Arti
(ayat ini): mayoritas manusia tidak memiliki ilmu pengetahuan kecuali dalam
(perkara-perkara yang berkaitan dengan) dunia, keuntungan-keuntungannya,
urusan-urusan dan semua hal yang berhubungan dengannya. Mereka sangat mahir dan
pandai dalam usaha meraih (keberhasilan) dan cara-cara mengusahakan keuntungan
duniawi, sedangkan untuk kemanfaatan (keberuntungan) di negeri akhirat mereka
lalai (dan tidak paham sama sekali), seolah-seolah mereka seperti orang bodoh
yang tidak punya akal dan pikiran (sama sekali).”[1]
Perniagaan Akhirat
Allah Ta’ala menamakan amalan-amalan shalih,
lahir dan batin, yang disyariatkan-Nya untuk mencapai keridhaan-Nya dan meraih
balasan kebaikan yang kekal di akhirat nanti sebagai “tijaarah”
(perniagaan) dalam banyak ayat al-Qur’an.
Ini menunjukkan bahwa orang yang menyibukkan diri
dengan hal tersebut berarti dia telah melakukan ‘perniagaan’ bersama Allah Ta’ala,
sebagaimana orang yang mengambil bagian terbesar dari perniagaan tersebut maka
dialah yang paling berpeluang mendapatkan keuntungan yang besar.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى
تِجَارَةٍ تُنْجِيكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ. تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ
وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ ذَلِكُمْ
خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ. يَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
وَيُدْخِلْكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ وَمَسَاكِنَ
طَيِّبَةً فِي جَنَّاتِ عَدْنٍ ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan
suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (yaitu)
kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan-Nya dengan harta
dan jiwamu, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya. Niscaya
Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal
yang baik di surga ‘Adn. Itulah keberuntungan yang besar.” (QS. ash-Shaff:
10-12).
Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala
menjadikan amalan-amalan (shalih) tersebut kedudukannya seperti ‘perniagaan’,
karena orang-orang yang melakukannya akan meraih keuntungan (besar) sebagaimana
mereka meraih keuntungan dalam perniagaan (duniawi), keuntungan (besar) itu
adalah masuknya mereka ke dalam surga dan selamat dari (siksa) neraka.”[2]
Inilah ‘perniagaan’ yang paling agung, karena
menghasilkan keuntungan yang paling besar dan kekal abadi selamanya, inilah
‘perniagaan’ yang dengannya akan diraih semua harapan kebaikan dan terhindar
dari semua keburukan yang ditakutkan, inilah perniagaan yang jelas lebih mulia
dan lebih besar keuntungannya daripada perdagangan duniawi yang dikejar oleh
mayoritas manusia.[3]
Oleh karena itu, Allah Ta’ala menyifati
‘perniagaan’ mulia ini sebagai perniagaan yang pasti beruntung dan tidak akan
merugi.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ
اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا
وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ. لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ
وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ
“Sesungguhnya, orang-orang yang selalu membaca
kitab Allah (al-Qur’an), mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari
rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka, dengan diam-diam maupun
terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi.
Agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada
mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Mensyukuri.” (QS. Faathir: 30).
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di rahimahullah
berkata, “(Inilah) perniagaan yang tidak akan merugi dan binasa, bahkan
(inilah) perniagaan yang paling agung, paling tinggi dan paling utama, (yaitu)
perniagaan (untuk mencari) ridha Allah, meraih balasan pahala-Nya yang besar,
serta keselamatan dari kemurkaan dan sisaan-Nya. Ini mereka (raih) dengan
mengikhlaskan (niat mereka) dalam mengerjakan amal-amal (shalih) serta tidak
mengharapkan tujuan-tujuan yang buruk dan rusak sedikitpun.”[4]
Barang Dagangan/ Perniagaan Allah Ta’ala Adalah
Surga
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya barang dagangan Allah sangat
mahal, dan ketahuilah bahwa barang dagangan Allah adalah surga.”[5]
Barang dagangan Allah Ta’ala yang mahal dan
mulia ini harganya adalah amalan shalih dan berkorban di jalan-Nya, sebagaimana
yang Allah Ta’ala isyaratkan dalam firman-Nya,
وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ
عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلا
“Dan amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah
lebih baik pahalanya di sisi Rabb-mu serta lebih baik untuk menjadi harapan.”
(QS. al-Kahfi: 46).
Juga dalam firman-Nya,
إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ
الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ
يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْدًا عَلَيْهِ
حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَالإنْجِيلِ وَالْقُرْآنِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ
مِنَ اللَّهِ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ
هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Sesungguhnya, Allah telah membeli dari orang-orang
mu’min, diri dan harta mereka dengan memberikan surga (sebagai balasan) untuk
mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh.
(Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan
al-Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah?
Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah
kemenangan yang besar.” (QS. at-Taubah: 111) [6]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala
mengabarkan (dalam ayat ini), bahwa Dia telah mengganti (membeli) dari
hamba-hamba-Nya yang beriman jiwa dan harta mereka yang mereka curahkan di
jalan-Nya dengan Surga (sebagai harganya). Ini merupakan (bagian) dari karunia,
kebaikan dan kedermawanan-Nya, karena Dia menerima (untuk memberikan) ganti
(harga) dari apa yang merupakan milik-Nya, dengan (ganti yang berupa) anugerah
yang dilimpahkan-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang (selalu) taat kepada-Nya. Oleh
karena itu, (Imam) Hasan al-Bashri rahimahullah dan Qatadah rahimahullah
berkata (tetntang ayat ini), ‘Demi Allah, Dia telah berjual-beli dengan mereka,
lalu Dia menjadikan sangat mahal harga (yang mereka terima, yaitu surga).’”[7]
Barang Dagangan yang Mahal Hanya untuk Pedagang dan
Pembeli Kelas Tinggi
Barang dagangan Allah Ta’ala yang sangat mulia
dan mahal ini, yaitu Surga, hanya pantas ‘diperdagangkan’ dan ‘dibeli’ oleh para
pedagang dan pembeli ‘kelas tinggi’, yaitu mereka yang siap mencurahkan segenap
kesungguhan dan perjuangan mereka, dengan jiwa, raga dan harta, untuk meraih
kesempurnaan iman dan keridhaan Allah Ta’ala.
Merekalah orang-orang ‘kelas tinggi’ dalam arti yang
sebenarnya, karena mereka siap berjuang dan mengorbankan segala yang mereka
miliki untuk memenuhi ‘selera mereka yang tinggi’, yaitu selera untuk
mendapatkan balasan yang tinggi, yaitu Surga.
Bukankah Allah Ta’ala menyifati Surga dalam
al-Qur’an dengan firman-Nya,
فِي جَنَّةٍ عَالِيَةٍ
“Di dalam Surga yang sangat tinggi.” (QS.
al-Ghaasyiah: 10).
Demikian juga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyifati Surga Firdaus dalam sabda beliau, “Jika kalian memohon (Surga)
kepada Allah, maka mintalah (Surga Firdaus), itulah Surga yang paling di tengah
dan paling tinggi, dan atapnya adalah Arsy (Allah Ta’ala) Yang Maha Pemurah.”[8]
Bukankah dengan ini mereka pantas disebut sebagai
orang-orang yang memiliki ‘selera tinggi’?
Sebagaimana orang-orang yang menjadikan dunia sebagai
target utama dalam hidup mereka, pantas disebut sebagai orang-orang yang
memiliki ‘selera rendah’ sesuai dengan kerendahan dan kehinaan dunia itu
sendiri.
Imam ‘Abdur Rauf al-Munawi rahimahullah
berkata, “Dunia itu dinamakan ‘dunia’ (secara bahasa berarti yang rendah/
dekat), karena kedekatannya (cepat berakhirnya) dan kerendahannya
(kehinaannya).”[9]
Oleh karena itu, Allah Ta’ala menyebutkan sifat
utama yang ada pada penghuni Neraka yaitu selalu memprioritaskan kehidupan
dunia yang rendah.
Allah Ta’ala berfirman,
فَأَمَّا مَنْ طَغَى وَآثَرَ
الْحَيَاةَ الدُّنْيَا فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى، وَأَمَّا مَنْ خَافَ
مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ
الْمَأْوَى
“Adapun orang-orang yang melampaui batas, dan lebih
mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya).
Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabb-nya dan menahan diri dari
keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).”
(QS. An-Naazi’aat: 37-41).
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berlindung kepada Allah Ta’ala dari ‘selera yang rendah’ ini,
sebagaimana dalam doa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ولا تَجْعَلِ الدُّنْيا أَكْبَرَ
هَمِِّنا ولا مَبْلَغَ عِلْمِنَا
“(Ya Allah) janganlah Engkau jadikan dunia (harta
dan kedudukan [10] sebagai target utama kami dan
puncak dari pengetahuan kami.”[11]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
“Barangsiapa yang bercita-cita untuk (meraih) perkara-perkara yang tinggi, maka
wajib baginya untuk menekan kuat kecintaan kepada perkara-perkara yang rendah
(dunia).” [12]
Sikap inilah yang ditunjukkan oleh shahabat yang
mulia, Shuhaib bin Sinan radhiallahu ‘anhu, ketika beliau berhijrah dari
Mekkah ke Madinah, yang untuk itu beliau harus menyerahkan harta dan emas
berlimpah yang beliau miliki kepada orang-orang kafir Quraisy, agar mereka
tidak menghalangi hijrah beliau ke Madinah. Sehingga ketika beliau telah sampai
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah mengetahui
kejadian tersebut berdasarkan berita dari Malaikat Jibril ’alaihis salam,
waktu itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan kabar
gembira kepadanya dengan bersabda, “Wahai Abu Yahya, (sungguh) telah
beruntung perniagaanmu”, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya
sebanyak tiga kali.” [13]
Kemuliaan dan Keutamaan dari Allah Ta’ala
Sesuai dengan Kesungguhan Manusia
Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا
لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
“Dan orang-orang yang berjuang dengan
sungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami berikan
hidayah kepada mereka (dalam menempuh) jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah
benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. al- ‘Ankabuut:
69).
Imam Ibnu Qayyim rahimahullah ketika
mengomentari ayat di atas, beliau berkata, “(Dalam ayat ini), Allah Ta’ala
menggandengkan hidayah (dari-Nya) dengan perjuangan dan kesungguhan (manusia),
maka orang yang paling sempurna (mendapatkan) hidayah (dari Allah Ta’ala)
adalah orang yang paling besar perjuangan dan kesungguhannya.”[14]
Tidak terkecuali dalam hal ini, untuk meraih
keuntungan besar dalam perdagangan akhirat tentu sangat dibutuhkan perjuangan
dan kesungguhan. Kesungguhan dalam memahami petunjuk Allah Ta’ala dan
mengamalkannya untuk mencapai ridha-Nya. Inilah jalan untuk mencapai keuntungan
yang tinggi dan mulia dalam perdagangan akhirat, yaitu surga yang penuh dengan
berbagai macam kenikmatan besar yang “belum pernah dilihat oleh mata, belum
pernah didengar oleh telinga dan belum pernah terlintas dalam benak manusia.”[15]
Seorang penyair mengungkapkan hal ini dalam bait syairnya,
Maka katakanlah kepada mereka yang mengharapkan
perkara-perkara (balasan) yang tinggi
Tanpa kesungguhan/perjuangan (berarti) kamu mengharapkan sesuatu yang mustahil (kamu dapatkan)
Tanpa kesungguhan/perjuangan (berarti) kamu mengharapkan sesuatu yang mustahil (kamu dapatkan)
Inilah makna yang diisyaratkan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Orang yang berjihad/ berjuang dengan sungguh-sungguh (yang sebenarnya)
–dalam riwayat lain: jihad/ perjuangan yang paling utama– adalah orang yang
berjuang dengan sungguh-sungguh untuk menundukkan hawa nafsunya di jalan Allah
Ta’ala –dalam riwayat lain: dalam ketaatan kepada Allah –.”[16]
Nasihat dan Penutup
Inilah perniagaan akhirat dan perniagaan dunia, dan
inilah perbandingan antara keduanya, manakah yang akan anda pilih?
Allah Ta’ala berfirman,
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا
فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاها قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ
مَنْ دَسَّاهَا
“Dan (demi) jiwa serta penyempurnaannya
(ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaan, Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu (dengan
ketakwaan), dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (dengan kefasikan).”
(QS. asy-Syams: 7-10).
Kehidupan dunia yang kita jalani, hakekatnya adalah
pertaruhan diri kita untuk membawanya kepada jalan kebaikan atau kebinasaan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Setiap manusia menjalankan (kehidupannya) dan menjual
(mempertaruhkan) dirinya, maka (ada orang) yang membebaskan (menyelamatkan)
dirinya dan (ada pula) yang membinasakannya.“[17]
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Makna
hadits ini adalah setiap manusia mengusahakan (mempertaruhkan) dirinya, di
antara mereka ada yang menjualnya untuk Allah Ta’ala dengan (menetapi)
ketaatan kepada-Nya, maka dialah yang membebaskan (menyelamatkan) dirinya dari
siksa (neraka yang sangat pedih), dan di antara mereka ada yang menjualnya
untuk syaitan dan hawa nafsunya dengan menuruti (ajakan) keduanya, maka dialah
yang membinasakan dirinya.”[18]
Semoga Allah Ta’ala menjadikan tulisan ini
bermanfaat untuk memotivasi kita agar semangat dan bersungguh-sungguh mengejar
keuntungan mulia dalam perdagangan akhirat yang tidak akan merugi.
Dan semoga Dia senantiasa memudahkan taufik-Nya bagi
kita untuk meraih keridhaan-Nya dan semua kedudukan yang mulia dalam agama-Nya,
sesungguhnya Dia Maha Dekat, Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد
وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 8 Muharram 1431 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni
Catatan Kaki:
Catatan Kaki:
[1] Kitab Tafsir Ibnu Katsir,
3/560
[2] Kitab Fathul Qadiir, 5/311
[3] Lihat kitab Tafsir Ibnu Katsir,
4/463
[4] Kitab Taisiirul Kariimir Rahmaan,
hal. 689
[5] HR. at-Tirmidzi (no. 2450) dan
al-Hakim (4/343), dinyatakan shahih oleh Imam al-Hakim dan disepakati oleh Imam
adz-Dzahabi, serta dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah
dalam Ash-Shahiihah, no. 954 dan 2335
[6] Lihat kitab Tauhfatul Ahwadzi,
7/124 dan Fathul Qadiir, 6/123
[7] Kitab Tafsir Ibnu Katsir,
2/515
[8] HSR. Bukhari, no. 2637 dan 6987
[9] Kitab Faidhul Qadiir, 3/544
[10] lihat kitab Tuhfatul Ahwadzi,
9/334
[11] HR. Tirmidzi (no. 3502), dinyatakan
hasan oleh Imam at-Tirmidzi rahimahullah dan Syaikh al-Albani rahimahullah
[12] Kitab Miftaahu Daaris Sa’aadah,
1/108
[13] HR. Hakim (8/31) dan ath-Thabrani
dalam Al-Mu’jamul Kabir, no. 7296, dinyatakan shahih oleh Imam al-Hakim
dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi rahimahullah
[14] Kitab Al-Fawa-id, hal. 59
[15] Sebagaimana dalam hadits qudsi riwayat
Imam al-Bukhari, no. 4501 dan Muslim, no. 2824
[16] HR. at-Tirmidzi (no. 1621), Ahmad
(6/21,22), Ibnu Hibban (no. 4862), dinyatakan shahih oleh Imam At-Tirmidzi,
Ibnu Hibban dan Syaikh al-Albani rahimahumullah
[17] HSR. Muslim, no. 223
[18] Kitab Syarhu Shahiihi Muslim,
3/102
==========================================